Riau

Cegah Konflik Antar Nelayan, HNSI Riau Bersinergi Bersama Stakeholder Terkait

PEKANBARU -Melimpahnya hasil ikan di sejumlah perairan Riau menjadikan wilayah itu masih rawan terjadinya konflik antar nelayan.

Masih segar di ingatan masyarakat ketika sebuah kapal nelayan asal Sumatera Utara dibakar oleh nelayan Panipahan, Kabupaten Rokan Hilir pada 2020 lalu. 

Aksi itu terjadi lantaran kapal nelayan asal Sumut itu menggunakan alat tangkap yang dilarang oleh negara. 

Kendati tak menimbulkan korban jiwa dan tidak sempat meluas, namun potensi konflik harus diwaspadai oleh sejumlah pihak. 

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Riau Hendrawan SE MM mengatakan, untuk mencegah dan menyelesaikan konflik nelayan tak bisa dilakukan oleh salah satu pihak saja. 

Kata Hendrawan, butuh peran aktif dari sejumlah stakholder terkait. Sebab, konflik antar nelayan terjadi lantaran berbagai faktor. 

Perebutan daerah tangkapan yang tidak sesuai, pemakaian jenis alat tangkap yang dilarang, hingga perilaku sosial yang tidak sesuai menjadi penyebab utama terjadinya konflik.

"Semua stakholder harus bersinergi untuk mencegah terulangnya konflik nelayan di Riau. Tidak hanya tugas Dinas Kelautan, melainkan juga Polri, dan juga masyarakat nelayan itu sendiri," ujar Hendrawan, Rabu (22/9/2021).

Menurut Hendrawan, konflik antara nelayan di Riau sudah lama berakhir.  Jika pun ada, menurut Hendrawan bukanlah konflik, melainkan kesalah pahaman.
Namun potensi itu bisa diredam berkat kolaborasi HNSI dan stakholder terkait sebelum menjadi konflik.

"Apalagi HNSI dan stakholder terkait telah rutin menggelar sosialisasi alat tangkap dan jalur tangkap yang kerap menjadi pemicu konflik. Alhamdulillah, hampir sebagian nelayan di Riau sudah paham dengan aturan itu, " ujar Hendrawan.

Hendrawan pun berharap agar pemerintah Provinsi Riau memperhatikan nasib nelayan di Riau.

Alat tangkap yang masih tradisional dan minimnya SDM membuat nelayan di Riau kalah saing dengan nelayan dari provinsi lain.
Sebab, saat ini kata Hendrawan, nelayan di Riau mendapatkan alat tangkap yang tak sesuai dengan karakteristik perairan di Riau. 
Akibatnya, sejumlah nelayan terpaksa kembali memakai alat tangkap yang dilarang undang-undang. 

"Kebanyakan kasus seperti itu, nelayan tidak mendapatkan alat tangkap yang sesuai dengan perairan di Riau. Akibatnya, mereka kembali memakai alat tangkap yang dilarang," ujar Hendrawan.

Senada dengan Ketua HNSI Hendrawan SE MM, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Riau, Herman Mahmud mengakui jika hingga saat ini konflik nelayan di Riau tidak pernah lagi terjadi, namun masih menyimpan potensi.

Sebanyak empat dari tujuh wilayah pesisir di Riau termasuk zona rawan. Keempat wilayah zona rawan tersebut yaitu Rohil, Inhil, Meranti, Bengkalis.

Keempat wilayah pesisir tersebut menjadi rawan konflik lantaran sejumlah nelayan di sana masih menggunakan alat tangkap terlarang. 

Selain itu, empat daerah pesisir tersebut juga menjadi area perebutan wilayah tangkap dengan kapal dari provinsi lain dan bahkan kapal asing.

"Soal alat tangkap yang dilarang, kami bersama Polda dan juga HNSI sudah kerap melakukan edukasi dan pendekatan kepada para nelayan untuk mengganti alat tangkap mereka. Upaya itu berhasil, meski ada satu dua yang masih menggunakannya dan itu pun dilakukan secara sembunyi-sembunyi," ujar Herman. 

Herman mengatakan, nelayan Riau sebenarnya tak mempermasalahkan masuknya nelayan dari provinsi lain asal mereka menggunakan alat tangkap yang sesuai. 

Namun, masih ada saja oknum nelayan yang nakal dari daerah lain nekat masuk ke perairan provinsi Riau menangkap ikan dengan alat tangkap yang dilarang. 
"Kalau nelayan di Riau bisa dikatakan sudah tertib, mereka menggunakan alat tangkap yang sesuai. 

Selain sadar akan keberlangsungan sumberdaya laut, mereka juga sadar jika penggunaan alat tangkap yang dilarang bisa memicu konflik," ujarnya.

Sementara itu, Kasubdit Gakkum Dit Pol Air Polda Riau AKBP Dr Wawan Setiawan, SH., MH mengatakan, hingga September 2021 pihaknya sudah menangani tiga kasus terkait pelanggaran yang dilakukan nelayan di perairan Riau. 
Namun, pelanggaran itu tidak dilakukan oleh nelayan Riau, melainkan nelayan dari Sumatera Utara.

"Terkadang alat tangkapnya tidak dilarang, namun mereka tidak mengantongi surat izin untuk menangkap ikan di Provinsi Riau," ujar Wawan.

Wawan mengakui, sebagian besar nelayan di Riau sudah paham dengan undang-undang tentang perikanan. Sebab itu, hingga saat ini pihaknya belum menemukan kasus pelanggaran yang dilakukan oleh nelayan Riau.

"Kebanyakan pelanggaran di perairan di Riau dilakukan nelayan asal daerah lain. Penggunaan alat tangkap yang dilarang ini bisa menjadi pemicu konflik di perairan Riau," ujar Wawan. ***



[Ikuti RiauTime.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 082387131915
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan RiauTime.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan