Opini

Amerika Kucurkan Rp27 T untuk ganti Peralatan Huawei dari Jaringan Nasional

Muslim Hadi

Bagaimana Indonesia Menyikapi perang Dagang ini?

PEKANBARU- Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan Indonesia akan terus menjalin hubungan bilateral dengan Amerika Serikat dan China meski perang dagang antara kedua negara belum mereda. AS dan China disebut merupakan negara mitra strategis, termasuk saat pandemi Covid-19. “Indonesia tetap menjalin hubungan baik dengan AS dan China serta menjadi mitra yang solid pada masa pandemi ini meskipun terjadi perang dagang di antara kedua negara tersebut,” kata Lutfi dalam webinar Mandiri Sekuritas seperti dikutip dari keterangan resmi. 

Menurutnya, AS dan China berperan besar terhadap kinerja perdagangan Indonesia, dan sebaliknya Indonesia merupakan negara yang penting di bidang perdagangan bagi keduanya.

Perusahaan Cina yang terkena dampak aturan ini adalah Huawei, ZTE, Hytera Communications Corp, Hangzhou Hikvision Digital Technology Co, dan Zhejiang Dahua Technology Co. Komisi Komunikasi Federal Amerika Serikat (FCC) pada Senin mengatakan akan membuka program ganti rugi senilai US$1,9 miliar (Rp27 triliun) kepada operator telekomunikasi AS yang mengganti peralatan perusahaan Cina yang dianggap sebagai ancaman keamanan nasional seperti Huawei dan ZTE. 

Namun aturan ini menjadi masalah besar bagi operator telekomunikasi di pedesaan AS, karena mereka mesti mengeluarkan biaya tinggi dan kesulitan menemukan pekerja untuk melepas dan mengganti peralatan dari perusahaan telekomunikasi Cina. Perintah terakhir FCC memperluas perusahaan yang memenuhi syarat untuk penggantian, dari operator telekomunikasi yang memiliki 2 juta atau lebih sedikit pelanggan menjadi operator yang memiliki 10 juta atau lebih sedikit pelanggan. FCC pada September 2020 memperkirakan akan menelan biaya US$1,837 miliar (Rp26,6 triliun) untuk mengganti peralatan Huawei dan ZTE dari jaringan telekomunikasi AS.

Perang dagang total antara AS dan China kian sulit dielakkan, sehingga akan memicu era baru deglobalisasi atau setidaknya ekonomi global akan terbagi menjadi dua blok yang saling tidak compatible. Skenario manapun terjadi, perdagangan barang dan jasa, aliran modal, tenaga kerja, teknologi dan data akan benar-benar terbatas. Sistem digital akan menjadi splinternet, dimana antara Barat dan China tidak akan tersambung satu sama lain. AS telah mengenakan sanksi pada ZTE dan Huawei. 

Alhasil, China akan berjuang keras memastikan bahwa teknologinya mendapatkan sumber input utama yang berasal dari domestik maupun dari negara sahabatnya yang tidak tergantung AS. Ini mirip perang Balkan. China dan AS akan saling berebut pengaruh, sementara banyak negara ketiga berusaha tetap netral dengan tetap mempertahankan hubungan ekonomi dengan kedua negara tersebut. 

Menyikapi perkembangan tersebut, Indonesia harus cerdas dan tepat menentukan sikap dan akan berpihak kemana. Keberpihakan akan menjadi keniscayaan, tergantung dari warna dan pandangan politik kelompok yang ada di panggung pemerintahan. Setiap pilihan akan membawa konsekuensi, tidak hanya ekonomi 270 juta penduduk negeri tetapi menyangkut takdir NKRI. Pepatah yang menyatakan bahwa ‘gajah lawan gajah, pelanduk mati ditengah-tengah’ harus disingkirkan dari benak setiap anak bangsa yang cerdas. Kita ubah menjadi ‘gajah lawan gajah pelanduk ketawa dipunggung gajah’. Perlu diingat bahwa di Asia akan terbelah menjadi dua kelompok. Mereka yang berpihak ke AS adalah Jepang, Korea Selatan, Vietnam, Thailand, Malaysia, India, dan Filipina. Adapun yang berada pada sisi China adalah Korea Utara, Myanmar, Laos, Kamboja, Pakistan dan Singapura. Indonesia kemana? (Penulis: Muslim Hadi)



[Ikuti RiauTime.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 082387131915
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan RiauTime.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan