Opini

Sastra Islam Di Alam Melayu, Oleh: Rahmi Febrianti

Nama Penulis : Rahmi Febrianti
Universitas Riau
Jurusan : Budidaya Perairan

Sastra Islam ditakrifkan dan disimpulkan oleh Shahnon Ahmad (1981, dalam Ahmad Nabil Amir:157) sebagai sastra kerana Allah SWT, berhikmah kepada manusia sejagat. Dari perumusannya ini, Shahnon coba menekankan bahwa kesusastraan itu bukan suatu yang kosong dan semberono, tetapi ia terikat dengan nilai-nilai ketuhanan yang mengalirkan hikmah dan kebijaksanaan terhadap kemanusiaan. Inilah tanggungjawab sastra yang harus dizahirkan dalam penulisan dan pengkaryaan sastra.

Pandangan ini diperkukuh oleh S. Othman Kelantan (1987) yang mendefinisikannya sebagai satu bentuk kesusastraan dalam media bahasa khususnya yang bertulis, yang menggambarkan cita-cita keislaman sebagai visi menerapkan pengajaran al-Quran, al-Hadis dan sunnah Rasulullah (saw). Takrifnya ini menzahirkan penghayatan dan penjiwaan terhadap ruh dan cita-cita Islam yang ditimbulkan dalam karya-karya sastra yang mengilhamkan pandangan al-Qur’an dan al-hadith dan aspirasinya yang sebenar.

Manakala Kassim Ahmad (1983) pula mengungkapkannya sebagai sastra yang diciptakan oleh manusia dengan menggunakan bahasa dan mengandungi keindahan, kebenaran dan kebaikan mengikut estetika Islam untuk kebaikan manusia. Dari takrif yang singkat ini nyatalah fungsi sastra Islam itu untuk menegaskan kebenaran dan kebaikan yang menimbulkan kesan-kesan keindahan dan nilai nilai estetika yang mendalam.

Perkembangan sastra Islam di abad modern mulai digerakkan dengan peranan pujangga dan sastrawan dan pengaruh Islam yang pesat pada akhir 30- an. Ini diperkukuh dengan karya-karya sastra yang mengalir dari Indonesia, yang ditulis oleh Hamka, dan wacana penting yang dicetuskan oleh penggiat sastra. Gagasan penting tentang kesusastraan Islam ini telah dicetuskan oleh Yusof Zaki Yaakob (1986). Pemikiran ini dilanjutkan dalam makalahnya, dan dari beberapa pandangan yang dilontarkan oleh S. Othman Kelantan dalam bukunya Ruang Perjalanan yang mengungkapkan idea dan falsafahnya tentang sastera Islam. Diskusinya terus hangat pada 1980 ketika tercetusnya polemik tentang sastera Islam antara Shahnon Ahmad dan Kassim Ahmad, yang cuba membedah dan membongkar tradisi sastera bernafas Islam dan melihat pengaruh dan impaknya dalam masyarakat.

Dalam tulisannya tentang 'nilai kebudayaan dalam bahasa dan kesusasteraan Melayu’ Al-Attas (1975) menekankan pengaruh Islam atas kesusasteraan Melayu ini: “Tiada pernah dimanapun direnungkan bahawa sejarah bahasa dan kesusastraan Melayu itu harus dirumpunkan sebagai sejarah bahasa dan kebudayaan Islam.” Oleh sebab itulah, menurut beliau, “nilai-nilai saintifik, nilai-nilai rasionalisme yang bersendikan intelektualisme yang dibawa oleh Islam dan yang terdapat dalam struktur bahasa serta isi kesusastraan Melayu Indonesia yang telah diperislamkan itu tiada pernah dipertimbangkan dan dibicarakan secara ilmiah.”

Ketinggian sastra Melayu yang terhasil, mendapat sentuhannya, dari karya-karya sufi yang mengalir di Baghdad dan Damsyik, dan tersebar di alam Melayu dari pengaruh ulama dan pujangga Islam seperti Shamsuddin alSumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abd al-Ra’uf Singkel, Bukhari al-Jauhari, Syeikh Ahmad al-Fatani, Amir Hamzah, Raja Ali Haji, dan Hamzah Fansuri dari Acheh yang menghasilkan Mi’ratul Mu’minin, Syair Perahu, Sharab al-‘Asyiqin, dan Zinatul Muwahhidin. Ini seperti ditegaskan oleh Abdul Hadi W.M., “sebagai penyair besar dan pencetus syair, Hamzah Fansuri tidak hanya mempengaruhi perkembangan sastra Melayu pada abad ke-17 dan 18 M, tetapi juga sesudahnya.” (2012) Perkembangannya turut terkesan dari tradisi kepenyairan Islam di tanah Arab, Parsi, dan Andalus, yang dipelopori oleh Ibnu Arabi, Sadr al-Din al-Qunyawi, Ibrahim Hakki, Lubaid, Jalaluddin al-Rumi, Najm al-Din alKubra, Farid al-Din Attar, al-Hallaj, dan Rabiah al-‘Adawiyah, yang terkenal dengan karya-karya puitis dan keTuhanannya.

Dari perbincangan ringkas di atas, Pandangan dan idealisme yang tinggi ini telah mewarnai sastra Melayu dan membentuk falsafah dunianya yang dinamis. Usaha penyebaran sastra Islam dan penerapan pengaruhnya ke rantau ini haruslah ditingkatkan bagi membangun nilai dan keperibadian Islam yang kental dan melanjutkan pengaruhnya yang ekstensif dalam tradisi pemikiran dan persuratan Melayu dan warisan kebudayaannya, terutamanya nilai-nilai inklusivisme dan transendentalnya. Kita haruslah memperjuang dan mengangkat martabat sastra dan mempertahankan khazanah kesusastraan Melayu-Islam dan mengetengahkan sumbangannya yang signifikan dan penting dalam menggerakkan kesadaran dan kebangkitan sastra.

Sekian pembahasan menganai sastra islam di alam melayu,semoga pembahasan ini dapat memberi informasi sekaligus menambah pengetahuan / wawasan para pembaca.

Sumber: 
Amir Ahmad Nabil. (2020). PERKEMBANGAN PEMIKIRAN SASTERA ISLAM DI ALAM MELAYU, Jilid 5 (1), 155-168 http://www.kuim.edu.my/journal/index.php/JULWAN/article/view/697/554



[Ikuti RiauTime.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 082387131915
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan RiauTime.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan