Opini

Sejarah Masuknya Suku Bugis Di Kolaka Sulawesi Tenggara, Oleh: Fitria Rafika Sari

Nama Penulis: Fitria Rafika Sari
Mahasiswa Universitas Riau
Jurusan Budidaya Perairan

Sejarah awal masuknya suku Bugis di kolaka Sulawesi Tenggara dimulai sejak abad ke-17 pada tahun 1667-1669, yang pada saat itu terjadi suatu kekacauan di Makassar atau yang dikenal dengan “Perang Makassar”, Belanda memaksa pemerintah Goa untuk mengaku kalah dengan menandatangani Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini, Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo. 

Pada tahun berikutnya, Kubu Tosora dimusnahkan oleh Belanda dan sekutunya La Tenritatta’ Arung Palakka dari Bone. Hal ini menyebabkan banyak suku Bugis melarikan diri ketempat lain. Diantara mereka yang termasuk kategori ini adalah serombongan suku Bugis Bone yang melarikan diri masuk ke Kolaka Sulawesi Tenggara.
Kedatangan mereka ke daerah ini awalnya berkelompok. Setelah itu, barulah mereka datang secara individual mengikuti keluarganya yang telah datang terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan oleh bapak Nurdin bahwa: "saya adalah orang bugis yang sudah lama tinggal di Kolaka, alasan saya kenapa tinggal di Kolaka karena saya mengikuti saudara-saudara yang sudah lebih dulu berada di sini."

 Setelah pemberontakan atau “Perang Makassar” berakhir sekitar tahun 1670, suku Bugis yang pernah meninggalkan tanah Bugis pada awal terjadinya “Perang Makassar” itu (1667-1669-an) tidak mau lagi kembali ke kampung halamannya. Namun malah semakin banyak suku Bugis yang hijrah ke Kolaka sulawesi Tenggara untuk berkebun karena mengetahui bahwa orang-orang Bugis yang ada di daerah ini telah berhasil. Sebagaimana yang dikatakan oleh bapak Olleng dan ibu Santi bahwa: "Saya lebih memilih tinggal di Kolaka karena hidup saya lebih bagus dibanding di daerah asli saya, dimana sekarang saya mempunyai kebun yang lumayan luas yang bisa saya manfaatkan untuk menghasilkan uang, dan alhamdulillah dengan hasil kebun saya bisa membangun rumah, membeli motor dan lain-lain, hidup saya lebih bagus dibandingkan dengan di daerah asal saya."

Perantauan suku Bugis terus berkembang di Kolaka sampai sekarang ini, namun bukan lagi karena mereka melarikan diri akan tetapi karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik,ada yang menikah dengan sesama suku Bugis atau menikah dengan orang yang berbeda suku dan bahkan sudah menetap jadi warga Desa Puu Lawulo.

Ada beberapa yang melatarbelakangi suku Bugis sehingga memilih daerah Kolaka.Sulawesi Tenggara menjadi tempat pelarian mereka, yaitu karena adanya daya dorong dari daerah asal mereka seperti faktor ekonomi,keamanan, dan faktor Geografis, yang dimana Kabupaten Kolaka sangat dekat dengan daerah suku Bugis yaitu dengan hanya menyeberangi laut. dan adanya daya tarik dari daerah Kolaka Sulawesi Tenggara, misalnya faktor keadaan Alam, yang di mana Kolaka memiliki tanah yang subur, Sumber air, keadaan alam yang bergunung-gunung dan kaya akan hasil laut dan hasil hutan, dan bagi masyarakat nelayan dan pedagang di daerah Kolaka dapat memberi manfaat besar karena letaknya sangat strategis. 

Seperti yang dikatakan oleh bapak Rion Sofyan selaku Kepala desa di Puu Lauloo yaitu:adanya faktor keadaan Alam, yang dimana Kolaka memiliki tanah yang subur,Sumber air, keadaan alam yang bergunung-gunung dan kaya akan hasil laut dan hasil hutan, dan bagi masyarakat nelayan dan pedagang di daerah Kolaka dapat memberi manfaat besar karena letaknya sangat strategis.

Diaspora Suku bugis pada abad ke 17 membawa banyak kelompok kebagian kolaka guna mencari tempat perlindungan dan penghidupan. di daerah ini kelompok suku bugis sangat berhasil karena keadaan alam yang dimana Kolaka memiliki tanah yang subur, sumber air, dan keadaan alam yang bergunung-gunung, jadi ini merupakan peluang bagi suku Bugis,selain untuk perlindungan daerah ini juga merupakan tempat untuk mencari mata pencaharian.

Karakteristik Orang Bugis dan Pola Interaksinya dengan Suku Tolaki. Suku Bugis dikenal dengan karakter yang tegas dan teguh pada pendirian, Mereka sangat menjunjung tinggi kehormatan, dari konsekuensi dari nilai-nilai Siri’ (harga diri) yang menjadi dasar sistem budaya masyarakat Bugis secara umum.Selain dari karakter yang tegas masyarakat Bugis juga memiliki semangat keberagamaan yang sangat kuat.

Kesetiaan terhadap Pangadereng dalam bentuk kepatuhan menjalankan ketentuan-ketentuan adat dalam pengertian luas masih mendapat perhatian besar dikalangan orang-orang Bugis. Kesadaran untuk memelihara harga diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bermartabat mengharuskan orang-orang Bugis beurusaha sekuat tenaga untuk menegakkan Siri’ sepanjang hidup mereka. Usaha-usaha yang mendukung pemeliharaan Siri’ dikalangan orang-orang Bugis merupakan hal yang sangat diutamakan. Bersamaan dengan itu, semangat keagamaan mereka termasuk sangat menonjol sebagaimana terlihat pada nuansa keagamaan yang mewarnai aktivitas kehidupan mereka sehari-hari. 

Kegiatan-kegiatan upacara adat yang selalu digabung dengan keagamaan seperti acara pernikahan, sunatan dan lain-lain. Realitas kehidupan sosial keagamaan masyarakat Bugis di Desa Puu Lawulo sangat kelihatan.

Seperti yang dikatakan oleh bapak Sofyian selaku Kepala Desa Puu Lawulo bahwa: "keidupan sosial keagamaan masyarakat Bugis di Desa ini masih sangat kental sebagai contoh di Desa ini dulunya hanya berdiri satu masjid saja,Tetapi karena permintaan masyarakat Bugis untuk menambah masjid lagi maka saya selaku kepala Desa bersama dengan masyarakat yang lain merasa sangat senang dan kemudian saya mengadakan musyawarah bersama dengan warga lainnya, dan akhirnya masyarakat Bugis sudah mendirikan dua masjid di Desa ini."

Dari hasil munsyawarah antar warga dan atas kesepakatan bersama akhirnya mereka gotong royong untuk membantu membangun masjid. Hasil wawancara yang diperoleh dari informan seperti yang juga dikatakan oleh Bapak Jufri Selaku Sekertaris Desa di Puu Lawuloo adalah: "Musyawarah sangat penting dalam suatu kegiatan agar hal-hal yang tidakdiinginkan tidak terjadi, seperti pembangunan mushallah dan ketika kita mengadakan acara keluarga maka harus dimusyawarakan ketetangga terdekat jangan sampai mereka terganggu dengan adanya hiburan yang ingin di tampilkan, hal-hal kecil seperi inijuga selalu diperhatikan agar tidak terjadi hal-hal yang menyebabkan ketidak harmonisan kepada sesama tetangga."

Hasil dari penelitian di Desa Puu Lawulo yang biasa menjadi hasil musyawarah dalam kegiatan sehari-hari, misalnya dalam kehidupan sosial adalah gotong royong antar warga.

Hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat banyak, tentu harus dengan mengadakan musyawarah karena setiap orang memiliki pendapat yang berbeda-beda, seperti contoh di Desa ini yaitu saat pemilihan kepala desa, dimana masyarakat berbeda calon dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka masyarakat harus melakukan musyawarah olehnya itu sangat perlu untuk dimusyawarahkan bersama untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh warga.

Hasil musyawarah adalah suatu hal yang diharapkan semua masyarakat karena semuanya didasarkan pada keputusan bersama. Seperti halnya dalam suatu kegiatan sosial dan kegiatan keagamaan. Apabila warga Ingin mengadakan kerja bakti maka harus dengan msuyawarah karena dengan adanya musyawarah tentunya kesepakatan antar warga akan tercapai.Dan sebagai contoh yang dilakukan oleh warga Desa Puu Lawulo waktu bulan puasa, ketika masyarakat ingin mengadakan buka puasa bersama di Masjid, terlebih dahulu mereka mengadakan musyawarah antar warga. Karena masyarakat tahu bahwa tujuan bakti maka harus dengan musyawarah karena dengan adanya musyawarah tentunya kesepakatan antar warga akan tercapai. Dan sebagai contoh yang dilakukan oleh warga Desa Puu Lawulo waktu bulan puasa, ketika masyarakat ingin mengadakan buka puasa bersama di Masjid, terlebih dahulu mereka mengadakan musyawarah antar warga. Karena masyarakat tahu bahwa tujuan diadakannya musyawarah yaitu untuk menyatukan semua pendapat dari para warga yang ikut dalam musyawarah agar mencapai keputusan bersama bukan kepentingan sepihak semata dan bisa dihindari hal-hal yang tidak diinginkan antar warga di Desa ini diadakannya musyawarah yaitu untuk menyatukan semua pendapat dari para warga yang ikut dalam musyawarah agar mencapai keputusan bersama bukan untuk kepentingan sepihak semata dan bisa dihindari hal-hal yang tidak diinginkan antar warga di Desa ini.

Suku Bugis mengoptimalkan hasil panen kebunnya dan kemudian mereka Tabung, yang merupakan sisa hasil belanjanya untuk menyumbang dalam Pembangunan masjid. Karena masyarakat bugis mempunyai semangat keagamaan yang sangat kuat, Sehingga mereka bisa melaksanakan shalat lima waktu di masjid ini, dan bukan hanya masyarakat Bugis saja yang melaksanakan ibadah di masjid tersebut akan tetapi masyarakat setempat pun senang dan ikut berbondong-bondong melaksanakan ibadah di Masjid itu.

Menurut salah satu warga di Desa Puu Lawulo, yang bernama Darma Mengatakan bahwa: "kerja sama merupakan salah satu bentuk interaksi sosial. Dalam keseharian, suku Bugis memiliki pola kehidupan yang berbeda dan diatur sedemikian rupa sehingga setiap gerak dan aktivitas yang terjadi didalamnya selalu mencerminkan nilai-nilai."

Kerja sama itu akan terjalin dengan baik apabila mereka telah saling mengenal satu sama lain misalnya kerja bakti atau gotong royong yang dilaksanakan pada setiap ada kesempatan, dan waktunya tidak tetap karena mereka melihat kondisi masyarakat, jika tidak terlalu sibuk maka mereka saling mengajak untuk gotong royong. Dalam kegiatan seperti ini justru akan mempererat tali persaudaraan antara orang Bugis dengan orang Tolaki”. Apabila hubungan sosial itu terjalin dengan baik maka kegiatan apapun yang dilakukan akan selalu berjalan dengan baik.

Acara-acara keagamaan lainnya yang biasa dilakukan oleh warga setempat setelah dibangunnya masjid tersebut adalah acara Yasinan setiap malam jum’at, yang biasanya dihadiri oleh ibu-ibu, bapak-bapak dan anak-anak yang biasanya dipimpin oleh Bapak Sarman selaku imam Dusun di Desa Puu Lawulo sekaligus sebagai kepala Dusun Toho.

Dengan melalui berbagai acara keagamaan seperti ini anggota masyarakat pun datang baik secara individu maupun secara kelompok untuk menghadiri acara ini. Mulanya sebagai penggembira saja atau hanya ikut-ikut saja namun, karena seringnya mengikuti acara-acara seperti ini, kemudian banyak diantara mereka sadar dan akhirnyapun ikut melaksanakan acara keagamaan seperti ini. Sedangkan pada siang hari dan disore hari di masjid ini diadakan pengajian untuk anak-anak.

Salah seorang muballig yang sempat diwawancarai mengatakan dia sudah lama berada di Desa ini untuk berdakwah di mesjid dan juga mengajar mengaji di desa ini. Di Desa ini sangat dibutuhkan banyak guru mengaji dan penceramah Karena setiap masjid membutuhkan pembaca khutbah pada setiap hari jum’at, Terlebih pada bulan puasa, semua masjid secara serentak membutuhkan penceramah tarwih.

Pola interaksi antara Suku Bugis dengan Suku Tolaki sejak awal telah menunjukkan hubungan yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Bapak surahman yang berasal dari Bone, bahwa itu bisa dilihat dari adanya hubungan kebudayaan karena perkawinan, seperti anaknya yang telah menikah dengan orang Tolaki dan yang kedua yaitu adanya pembentukan suatu nama kecamatan yaitu kecamatan “Samaturu” yang berasal dari bahasa Bugis yang artinya keinginan yang sama.

Bentuk kerja sama juga dapat kita lihat ketika musim seperti ini yaitu musim cengkeh biasanya orang Tolaki menawarkan diri untuk ikut membantu memetik cengkeh, begitupun sebaliknya apabila orang Tolaki mempunyai pekerjaan seperti membuat rumah, suku Bugis juga tidak segan-segan untuk ikut membantu. Orang Tolaki masih mempertahankan ikatan sosial mereka. Mereka menolong satu sama lain dalam aktifitas keseharian, upacara tradisional seperti pernikahan, membangun sebuah rumah, kedai dan membantu keluarga yang ditimpa bencana. Sama halnya dengan suku Tolaki.

Orang Bugis juga mempunyai ikatan komunitas yang kuat. Hal inilah yang menyebabkan sehingga kedua suku ini dapat bekerjasama. namun didalam Desa ini biasa juga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan oleh para masyarakat baik dari suku Bugis maupun suku Tolaki seperti kejadian saat musim panen cengkeh, yaitu terjadi pembunuhan karena salah satu warga Tolaki yang mencuri hasil panen suku Bugis.

Sebagaimana yang dikatakan oleh warga Desa Puu Lawulo yang bernama Santi bahwa: "perlu kita ketahui bahwa ketika orang Bugis mengadakan acara baik itu acara pesta pernikahan ataupun acara sunatan suku bugis selalu mengambil hiburan (elekton),sedangkan kita ketahui bahwa suku Tolaki tidak mengenal hal yang seperti itu dimana dapat mengganggu karena suaranya yang sangat besar dan bisa sampai larut malam, tetapi Masyarakat Tolaki menghargai itu sehingga tidak terjadi konflik diantara kami,kami saling mengerti dan menghargai antara satu sama lain dan bahkan kami ikut membantu dalam melaksanakan acara itu.

Seiring perpindahan suku Bugis ke Kolaka dan perkembangan ekonomi yang baik, mereka juga sebagai penganut agama Islam yang taat, membangun mesjid demi peningkatan kualitas ibadah dan pengetahuan agama Islam mereka mendatangkan guru dan penceramah,Mereka melakukan acara-acara kislaman, yang kemudian pada gilirannya orang Tolaki pun tertarik untuk ikut dan pada akhirnya juga menjadi penganut agama islam yang taat.

 



[Ikuti RiauTime.com Melalui Sosial Media]






Tulis Komentar

Untuk Berbagi Berita / Informasi / Peristiwa
Silahkan SMS ke nomor HP : 082387131915
atau email ke alamat : [email protected]
Harap camtumkan detail data diri Anda
Pengutipan Berita dan Foto, Cantumkan RiauTime.com Sebagai Sumber Tanpa Penyingkatan